Senin, 28 Maret 2011

SILUET CAHAYA BERSAMA AIR HUJAN 2


Malam ini hujan turun lagi. Membuat basah kota ini. Macet sudah pasti timbul. Namun ada sisi lain dari hujan di malam ini. Keindahan lampu jalan berpadu dengan titis air hujan yang turun membuat keindahan tersendiri.
            Hujan mulai reda, tinggal gerimis yang masih turun. Beberapa warung tenda mulai menjajakan dagangannya. Kepulan wangi soto ayam maupun kepulan asap ayam panggang membuat para pengendara motor maupun mobil sejenak berhenti untuk santap malam. Terlihat beberapa dari mereka mencoba mencari parkir, dan menuju warung makan dengan payung. Beberapa ada yang berpasangan, beberapa ada yang sendiri. Mereka sangat menikmati makan malam. Namun mereka hanya bisa melihat sambil memegang perut.
            Mereka menghela nafas panjang. Dingin seketika menyergap ujung jari, mengalir ke ujung tangan, menerobos siku, dan kemudian berakhir di perut. Kedua anak itu terlihat sangat kelaparan.
            Tidak lama kemudian mereka bangkit dan mengambil alat musik yang ada di tangannya. Alat musik yang terbuat dari tutup botol softdrink, yang biasa kita kenal dengan sebutan kecrekan. Dari satu warung makan ke warung makan lainnya, anak laki-laki dan perempuan  itu menyanyikan lagu. Tapi apa daya, mereka tetap memegang perutnya karena dari lima warung makan yang mereka datangi, mereka hanya menghasilkan tiga ribu rupiah.
            “Sudahlah dik, ayo kita pulang.” seru anak perempuan itu.
            “Tapi aku lapar kak.” anak laki-laki hampir menangis.
            “Ya sudah, uang yang tadi mana? Kakak akan belikan makanan.” anak perempuan itu mencoba tegar.
            Dengan bermodal tiga ribu rupiah, sang kakak mencoba mendekati tukang soto, dengan harapan mampu membeli soto tersebut walau tidak satu porsi penuh.
            “Pak, berapa harga semangkuk soto?”
            “Rp 9.000, mau beli berapa?” tanya tukang soto.
            “Maaf Pak saya hanya punya Rp 3.000, bolehkah saya meminta keringanan bapak?”
“Oh, tidak bisa, disini Rp 9.000, ya Rp 9.000.”
“Tapi tolong Pak, saya dan adik saya dari pagi belum makan.”
“Itu urusan kamu, pergi sana.” jawab tukang soto angkuh.
Sang kakak pun pergi dari warung tenda itu dengan kecewa. Tidak sampai hati ia memberi tahu adiknya perihal ini.
“Mana kak sotonya?” tanya adik.
“Maaf, Dik, uang kita tidak cukup, ayo kita pulang saja, siapa tahu kita besok dapat uang lebih.”
“Tapi adik lapar, Kak.” anak laki-laki itu hampir menangis.
“Iya, Dik, Kakak tahu, maafkan kakak.”
Sepasang kakak beradik pun berpelukan. Peluk haru di tengah gerimis. Peluk haru menahan lapar di perut. Namun ada sepasang mata yang mengawasi. Sepasang mata yang memperhatikan sejak tadi. Akhirnya ia menghampiri kakak beradik tersebut.
“Ada apa ini? Kenapa kalian menangis?” tanya pemuda itu.
“Kita lapar mas.” jawab sang adik.
“Sudah kalian jangan menangis. Kalian mau makan apa?”
“Soto ayam, Mas.” jawab sang adik gembira.
“Yasudah, mari kita kesana.” ajak pemuda itu.
Akhirnya mereka bertiga berjalan menuju warung soto. Tukang soto pun heran kenapa anak perempuan tadi kembali datang dan bersama anak kecil, dan pemuda bermodel mahasiswa. Tidak perlu menunggu lama, pemuda itu memesan tiga porsi soto ayam. Tidak lupa jeruk hangat yang menjadi minuman malam itu. Sambil menunggu pesanan, pemuda itu angkat bicara, mencairkan suasana.
“Nama saya Randi, nama kalian siapa?”
“Saya Anggi, ini adik saya, Wisnu.” kata sang kakak yang ternyata bernama Anggi.
“Kalian sekolah tidak?”
“Kami sudah enam bulan terakhir tidak sekolah, Mas, sudah tidak ada biaya. Ayah meninggal enam bulan lalu, sementara ibu sakit-sakitan.”
“Karena itu mas kita sekarang ngamen.” kata Wisnu ikut bicara.
“Memang kalian seharusnya kelas berapa?”
“Saya kelas 2 SMP, kalau Wisnu kelas 5 SD, Mas.”
Tidak terasa pesanan pun datang. Mereka melahap soto panas itu dengan lahapnya. Senang melihat orang seperti itu.
Suara sedotan yang berpadu dengan gelas menandakan jeruk hangat yang di gelas sudah habis. Randi membayar semua makanan yang di pesan, dan tidak lupa memesan satu bungkus lagi untuk ibu anak itu. Setelah memberi satu bungkus soto lagi, Randi pun pamit pada kedua anak itu.
“Mas pulang dulu ya, besok kita janjian disini, sekitar jam 7 malam, nanti Mas teraktir lagi.”
“ Iya, Mas terima kasih.” jawab Anggi senang.
 Keesok harinya, setelah seharian Anggi dan Wisnu mengarungi jalanan, dari satu bis ke bis lain, sekarang saatnya menunggu Randi di tempat kemarin. Hari ini mereka mendapat hasil yang lumayan. Rp 15.000. Sebagian uangnya sudah dibelikan makan siang untuk Anggi, Wisnu dan ibunya, sedangkan sisanya Rp 4.000 Wisnu kantongi.
Anggi dan Wisnu kembali bernyanyi dari warung makan ke warung makan yang lain. Hingga akhirnya Randi datang.
“Kalian sudah makan malam?” tanya Randi.
“Belum mas.” jawab mereka kompak.
Akhirnya Randy mengajak mereka ke tenda makan nasi uduk. 3 porsi nasi uduk mereka habiskan dengan secangkir teh hangat.  Lahap sekali cara makan Anggi dan Wisnu.
“Ok, hari ini aku ikut kerumah kalian.” kata randi bersemangat.
“Untuk apa mas?” tanya Anggi heran.
“Untuk bertemu ibu kalian, agar kalian di pindahkan ke bangku sekolah lagi.”
“Ibu kami sedang sakit mas, dia tidak mampu untuk bekerja sekeras dulu, untuk membiayai sekolah kami.” kata Anggi berkaca-kaca.
“Makanya aku ingin bicara dengan ibu kalian, Karena aku berencana membiayai sekolah kalian.”
Kakak beradi itu hanya diam tanpa kata. Mereka masuk ke mobil Randi. Menuju daerah perkampungan di tengah kota. Menuju rumah Anggi.
Mereka tiba di rumah Anggi sudah pukul 22.00. Sang ibu menyambut kepulangan Anggi dan Wisnu, serta keheranan dengan pemuda yang menyertai anaknya.
“Perkenalkan saya Randi, Bu. Saya mahasiswa jurusan Psikologi.”
“Saya Bu Ratna, ibu Anggi dan Wisnu.”
Randi dan Bu Ratna pun berbiacara panjang lebar. Sementara Wisnu sudah tidur, sedangkan Anggi mengintip dari kamarnya yang sempit itu. Mengintip dan menguping apa yang mereka bicarakan.
Setelah mengobrol panjang lebar akhirnya Randi dan Bu Ratna sama-sama tahu. Bu Ratna sekarang tahu kalau Randi adalah mahasiswa Psikologi yang hanya hidup dengan kakaknya, karena orangtua mereka sudah meninggal. Sementara itu Randi tahu kalau Bu Ratna menderita struk ringan.
Mereka berdua menghasilkan beberapa keputusan, yaitu kembali menyekolahkan Anggi dan Wisnu, dan juga memberi modal usaha katering untuk Bu Ratna, karena memasak Bu Ratna masih sanggup.
“Mulai besok kalian akan sekolah lagi.” kata Bu Ratna pada kedua anaknya di suatu pagi.
“Lalu, siapa yang biayai kita, Bu?”
“Mas Randi akan membiayai kalian di bulan pertama, dan Mas Randi pula memberi modal ke ibu untuk membuat usaha katering.”
“Alhamdulilah.” Anggi secara spontan sujud sukur.
Mereka bertiga berpelukan penuh haru.
Malam ini Randi datang kerumah Bu Ratna. Bermaksud mengajak anak-anak ke toko buku, untuk membeli perlengkapan sekolah.
Sepanjang toko buku, Anggi dan Wisnu sangat gembira sekali. Mereka memilih tas, sepatu, baju sekolah, maupun buku tulis baru. Di pojok toko buku tersebut terdapat jendela yang mampu melihat pemandangan di luar. Hujan ternyata. Mereka bertiga memandangi pemandangan diluar, dan Anggi pun angkat bicara.
“ Aku janji akan melakukan hal yang terbaik untuk sekolahku nanti, Mas.” kata Anggi pada Randi.
“Wisnu juga, Mas Randi. Wisnu mau dapet rangking kayak dulu.”
“Memangnya dulu Wisnu rangking berapa?” tanya Randi.
“Dulu aku rangking lima, Mas.” Wisnu menjawab.
“Baik, saya pegang janji kalian, kalian harus menjadi yang terbaik di sekolah.” Randi memberi semangat.
Sepulangnya dari toko buku, mereka mampir ke warung martabak. Randi membelikan martabak keju dan telur untuk makanan di rumah Bu Ratna. Setelah pesanan mereka jadi, mereka lanngsung menuju rumah dan bersiap untuk sekolah besok.
Keesokan harinya.
Hari yang menyenangkan bagi Anggi dan Wisnu karena mereka kembali lagi kesekolah. Mereka sangat bersemangat pagi itu. Menyambut mentari dengan senyuman terindah. Siap untuk melangkah lebih jauh hari ini. Begitu pula sang ibu, ia sangat bersemangat. Semangat untuk menyembuhkan sakitnya. Semangat untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Semangat untuk memulai usaha kateringnya.
Sesekali Randi datang untuk menjenguk mereka. Sekedar membawakan  martabak atau mengajak ketiga orang tersebut makan malam diluar. Randi sangat menikmati perannya yang membantu keluarga Bu Ratna dalam hal keuangan. Randi melakukan ini karena memang ia orang yang berkecukupan. Ia adalah satu dari sekian banyak orang yang masih peduli dengan lingkungan sekitar.
Suatu ketika, Randi datang kerumah Anggi bersama kakak perempuannya, Devi.
“Ibu, perkenalkan ini kakak saya, Mba Devi.”
“Devi.” kata Devi sopan.
“Bu Ratna.”
Mereka bertiga mengobrol banyak. Mengobrol tentang kelancaran bisnis katering, ataupun peningkatan prestasi Anggi dan Wisnu di sekolah. Tidak lama kemudian, Anggi dan Wisnu pulang sekolah. Mereka menyambut hangat kehadiran Randi dan Devi.
“Mas Randi, alhamdulilah acara 17-an besok Anggi kepilih jadi Paskibraka tingkat kota.” Anggi senang.
“Alhamdulilah, bagus itu.” Kata Randi.
“Kalau Wisnu minggu depan ikut lomba cerdas cermat SMP tingkat kota juga, Mas. Wisnu jadi salah satu wakil sekolah.”
“Loh, memang setiap sekolah punya berapa wakil?”
“Tiga orang, Mas, ketat pula seleksinya, alhamdulilah Wisnu lolos.”
Mereka pun larut dalam obrolan hangat.
Waktu terus bergulir, hingga tiba saat Anggi dan Wisnu naik tingkat sekolah. Anggi melanjutkan ke SMK, sedangkan Wisnu beranjak ke SMP. Setelah mengikuti berbagai ujian akhir, akhirnya Anggi dan Wisnu dinyatakan lulus.
Randi kembali datang pada malam itu. Memberi ucapan selamat pada Anggi dan Wisnu, sekaligus ingin membuatkan acara selametan.
“Bagaimana jika kita selametan atas kelulusan mereka, Bu?”
“Maaf, Mas Randi, uang saya hanya cukup untuk biaya pendaftaran sekolah mereka kelak.” Jawab Bu Ratna pelan.
“Tidak apa Bu. Masalah biaya biar saya yang tanggung.”
“Baiklah, Mas Randi. Saya sangat berterima kasih sebelumnya. Kira-kira kapan ya?”
“ Bagaimana jika hari Sabtu ini?”
“Baiklah, Mas.”
Akhirnya acara selametan pun digelar. Randi dan Bu Ratna merahasiakan hal ini pada Anggi dan Wisnu. Dan pas hari H, Anggi dan Wisnu kaget karena banyak tamu, yang juga tetangga Bu Ratna ramai-ramai berkunjung. Juga banyak makanan di rumah.
“Mau ada acara apa ini, Bu?”
“Acara selametan kelulusan kalian berdua.”
“Ih, Ibu jahat ga ngasih tau kami.”
“Maaf, ini atas kesepakatan ibu dengan Mas Randi.”
Sedikit kecewa, namun tetap senang yang terpancar dari wajah Anggi dan Wisnu. Mereka pun mandi dan bersiap-siap mengikuti acara.
Pukul 10.00. Acara pun dimulai. Randi datang bersama kakaknya. Acara berlangsung sekitar dua jam. Iringan doa dan makan siang pun mewarnai acara ini.
“Mas Randi jahat tidak memberitahu kami.” kata Anggi.
“Iya nih, Mas Randi, wuu.” Wisnu menambahkan.
“Maaf, maaf, saya dan ibu ingin meberi kejutan pada kalian.”
“Oh iya, ini ada hadiah untuk kalian.” kata Mba Devi.
“Wah, terima kasih, Mba. Terima kasih, Mas.” kata Anggi pada Mba Devi dan Randi.
Devi memberi hadiah berupa baju SMA untuk Anggi, dan baju SMP untuk Wisnu. Mereka senang. Mereka pun mencoba mengenakan hadiah tersebut. Alhamdulilah muat.
“Wah, kamu terlihat cantik pake baju SMA.” kata Randi pada Anggi.
“Iya, Wisnu juga ganteng tuh.” kata Devi pada Wisnu.
“Makasih ya, Mas, Mba.” jawab Anggi dan Wisnu.
“Oh iya, Mas, hari Selasa besok aku ada perpisahan di sekolah, gimana, Mas dan Mba bisa ikut kan?” tanya Anggi penuh semangat.
“Insya Allah, Mas akan datang.”
“Kalau Mba gag bisa ikut ya, Mba ada ujian hari itu, maaf.”
“Baiklah kalau begitu, aku tunggu ya.”
Mereka pun mengobrol. Mengobrol tentang Anggi yang berencana masuk SMK Pariwisata, ataupun Wisnu yang ingin  masuk SMP Negeri, seperti kakaknya. Hingga pukul 18.00, akhirnya Randi dan Devi pun pulang.
Hari Selasa pun tiba. Saatnya perpisahan yang diadakan di sekolah Anggi. Orangtua murid berkumpul, menyaksikan anaknya di wisuda. Anggi pun ditemani ibu dan adiknya Wisnu. Namun ia berharap-harap cemas karena Randi belum datang.
Acara pun dimulai. Anggi yang masuk dalam 10 besar hasil Ujian Nasional terbaik di SMP-nya pun naik podium. Memberikan sepatah dua patah kata.
“Terima kasih pada Allah SWT, yang mempertemukan saya dengan Mas Randi, yang akhirnya membantu saya membantu membiayai sekolah saya. Juga pada ibu saya yang telah merawat saya selama ini, juga adik saya Wisnu. Terima kasih kepada para guru yang memberi ilmu kepada saya, terima kasih.”
Anggi pun turun dari podium sambil menangis bahagia. Bu Ratna yang berada di salah satu bangku orang tua murid pun terharu. Bangga melihat anaknya sukses. Namun ia masih mempertanyakan ketidakhadiran Randi.
Acara pun berakhir penuh haru. Masing-masing siswa berpelukan sesama teman atau kepada guru. Peluk haru karena inilah akhir kebersamaan mereka selama 3 tahun.
Anggi keluar gedung itu bersama ibu dan anaknya. Dengan naik angkutan umum, mereka pun pulang kerumah. Anggi menanyakan kepada ibunya perihal Randi.
“Bu, Mas Randi ga datang ya?”
“Iya, yasudahlah, mungkin dia kuliah.”
“Tapi Anggi kecewa, Bu.”
“Mungkin dia ada urusan lain, Sayang.” jawab sang ibu.
Mereka pun tiba di rumah. Saatnya menata kehidupan baru bagi Anggi. Hari-hari berikutnya Anggi dan Wisnu pun mencari sekolah baru. Alhamdulilah, dengan hasil katering yang di kelola ibunya, Anggi dan Wisnu bisa melanjutkan sekolah sesuai keinginan mereka. Anggi masuk SMK Pariwisata, sedangkan Wisnu masuk SMP Negeri seperti kakaknya.
Hari ini adalah hari pertama mereka masuk sekolah. Tentu dengan acara MOS selama di tiga hari pertama. Anggi sangat bangga dengan baju SMK yang di belikan mba Devi tempo hari, begitu juga Wisnu. Dan mereka sekarang teringat Randi dan Devi, yang tidak ia jumpai selama dua bulan terakhir.
“Kalian memang tidak tahu rumah mas Randi?” tanya ibu kepada anaknya.
“Tidak tahu Bu.” jawab Anggi dan Wisnu kompak.
Mereka pun kebingungan mencari Randi. Tidak tahu nomor ponsel maupun alamat rumah Randi. Namun Anggi teringat satu hal.
“Bagaimana jika kita ke perempatan lampu merah saja, Dik?”Tanya Anggi pada Wisnu.
“Kita akan ngamen lagi kak?”
“Bukan, tetapi mencari mas Randi.”
“Oh, baik kak.”
Malam ini mereka pun menuju perempatan lampu merah dan menelusuri jalan di sekitarnya. Tidak peduli mereka lelah karena baru pulang MOS pada sore hari, malamnya mereka bergerak ke perempatan lampu merah. Berharap mereka akan bertemu Randi.
Malam ini hujan turun. Namun Anggi sudah bersiap dengan membawa payung. Mereka menunggu sejam pertama di depan toko buku. Terlihat sepasang mata mengawasi gerak mereka. Anggi pun mengajak adiknya makan soto. Kepulan soto panas dengan jeruk hangat mengingatkan mereka pada pertemuan petama dengan Randi. Dulu Randi yang membayar, namun sekarang mereka sudah cukup uang untuk membayar sendiri. Setelah soto mereka habis, mereka pun pulang. Penantian selama 2 jam tidak membuahkan hasil. Namun sepasang mata itu tetap mengawasi mereka, sampai mereka naik angkutan umum dan menghilang dari pandangan.
Esok malamnya, Anggi dan Wisnu kembali ke perempatan lampu merah.
“Sudah 2 jam kita disini kak, tidak ada tanda-tanda.” kata Wisnu lelah.
“Tenang, Dik, sabar.”
Kali ini, Anggi merasa ada sepasang mata yang mengawasi mereka. Anggi pun dengan sigap berlari kearah orang itu. Orang itu pun ikut berlari, dan kini sepanjang jalan raya ada 3 orang yang sedang kejar-kejaran.
Wisnu yang berlari cukup  kencang pun berhasil menangkap orang itu. Kaget rasanya bagi Anggi dan Wisnu, karena orang itu adalah Devi.
“Mba Devi, mengagetkan kita saja.” kata Wisnu.
“Dimana Mas Randi, Mba?” Anggi bertanya.
 “Besok akan aku antar kalian ke mas Randi. Besok aku akan kerumah kalian pukul 15.00.” kata Devi.
“Baik kalau begitu, kami tunggu ya, Mba.” kata Anggi.
Anggi dan Wisnu pun pulang kerumah.
Esok harinya, Devi datang. Setelah berpamitan pada ibunya, Anggi dan Wisnu pun pergi bersama Devi.
“Kita mau kemana kak?” tanya Anggi.
“Sudah ikut saja.” jawab Devi datar.
Mereka pun pergi ke suatu tempat. Anggi dan Wisnu pun curiga, karena mereka menuju pemakaman. Setelah turun dari mobil, mereka menuju makam, yang ternyata bertuliskan Randi Pabayita. Seketika Anggi pun lemas dan menangis.
“Maafkan aku ya, Nggi, tidak ngasih tahu kamu sejak awal bahwa Randi meninggal.”
“Kenapa, Mba? Kenapa Mas Randi meninggal?”
“Mobil yang ia tumpangi mengalami kecelakaan ketika mau menghadiri acara perpisahanmu, Nggi.”
Anggi pun menangis. Ia merasa bersalah atas kematian Randi. Namun rahasia kematian hanyalah milik Sang Kuasa.
“Randi sebelum meninggal berpesan pada kalian, kalau kalian harus sukses dalam bersekolah, tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan, kalau sudah sukses baru kalian boleh ke nisan Randi lagi, begitu pesan Randi.” jelas Devi pada Anggi dan Wisnu.
Anggi dan Wisnu mengangguk secara bersamaan. Anggi masih saja menangis, namun Wisnu tidak bisa nangis, dia hanya merasa sesak di dada. Bagaimana pun, Randi telah memberi kesempatan sekolah bagi Wisnu.
Hari semakin sore, bahkan menjelang malam. Mereka bertiga pun meninggalkan makam. Ketika masuk mobil, isak tangis masih terdengar dari suara Anggi. Ia amat kehilangan. Namun hidup tetap berjalan. Berjalan ke depan, tanpa memperdulikan kesedihan.
Hari-hari berikutnya merupakan lembaran baru bagi hidup Anggi dan Wisnu. Dua pengamen jalanan itu kini menjadi siswa berprestasi. Anggi yang sekarang kelas 2 SMK sudah magang kerja di salah satu perusahaan pariwisata terkenal, dan menjadi tour guide. Sementara Wisnu sukses dengan ekstrakulikuler sepakbola yang ia tekuni di SMP. SMP nya menjadi yang terbaik dalam kejuaraan sepakbola SMP se-provinsi. Wisnu menjadi penyerang dengan gol terbanyak di kompetisi tersebut. Sementara itu usaha katering Bu Ratna semakin maju. Dia sudah punya 3 pegawai. Bukan hanya menjajakan makanan berat seperti nasi kotak dan lauknya, ia mencoba peruntungan dengan membuat aneka kue. Hasilnya memuaskan. Pesanan begitu banyak datang. Terlebih lagi ketika hari raya tiba.
Tentu dengan kesuksesan mereka tidak membuat mereka lupa pada jasa Randi. Hari minggu pun tiba, Bu Ratna, Anggi, dan Wisnu berniat mendatangi makam Randi. Keluarga itu naik angkutan umum menuju ke pemakaman. Sesampainya disana, suasana haru kembali terjadi.
“Mas, kami datang. Mas apa kabar?” Anggi berbisik diatas batu nisan.
“Mas Randi, alhamdulilah aku dan anakku sekarang sukses. Usaha kateringku lancar dan anak-anak membuat prestasi yang membanggakan di sekolah.” Kata Bu Ratna.
Setelah menabur bunga dan mendoakan almarhum, mereka pun beranjak. Namun Wisnu mengusulkan satu hal.
“Ibu, gimana kalau kita makan soto dulu di perempatan lampu merah di tempat biasa?”
“Iya, Bu. Sambil mengenang Mas Randi. Lagi pula aku lapar.” bujuk Anggi.
“Baik, Nak. Ayo kita berangkat.” Bu Ratna mengiyakan.
Mereka kembali naik angkutan umum dan menuju tujuan. Setibanya disana, hujan kembali mengguyur kota. Karena bukan jam kerja maka jalan pun tidak begitu macet. Setelah turun dari angkutan umum dan dengan menggunakan payung, Bu Ratna, Anggi dan Wisnu menuju warung soto. Lampu-lampu kota berpadu dengan lampu mobil pun terlihat indah. Memancarkan siluet cahaya yang makin menawan dengan paduan air hujan. Anggi pun memesan tiga porsi soto dan jeruk panas. Menghangatkan suasana malam yang dingin dengan semangkuk soto. Makin hangat ketika Anggi terbayang saat pertama bertemu Randi disini.


SILUET CAHAYA BERSAMA AIR HUJAN



Malam ini hujan turun lagi. Membuat basah kota ini. Macet sudah pasti timbul. Namun ada sisi lain dari hujan di malam ini. Keindahan lampu jalan berpadu dengan titis air hujan yang turun membuat keindahan tersendiri.
            Hujan mulai reda, tinggal gerimis yang masih turun. Beberapa warung tenda mulai menjajakan dagangannya. Kepulan wangi soto ayam maupun kepulan asap ayam panggang membuat para pengendara motor maupun mobil sejenak berhenti untuk santap malam. Terlihat beberapa dari mereka mencoba mencari parkir, dan menuju warung makan dengan payung. Beberapa ada yang berpasangan, beberapa ada yang sendiri. Mereka sangat menikmati makan malam. Namun mereka hanya bisa melihat sambil memegang perut.
            Dia menghela nafas panjang. Dingin seketika menyergap ujung jari, mengalir ke ujung tangan, menerobos siku, dan kemudian berakhir di perut. Kedua anak itu terlihat sangat kelaparan.
            Tidak lama kemudian mereka bangkit dan mengambil alat musik yang ada di tangannya. Alat musik yang terbuat dari tutup botol softdrink, yang biasa kita kenal dengan sebutan kecrekan. Dari satu tenda ke tenda lainnya, anak laki-laki dan perempuan  itu menyanyikan lagu. Tapi apa daya, mereka tetap memegang perutnya karena dari 5 tenda yang mereka datangi, mereka hanya menghasilkan tiga ribu rupiah.
            “Sudahlah dik, ayo kita pulang.” seru anak perempuan itu.
            “Tapi aku lapar kak.” anak laki-laki hampir menangis.
            “Ya sudah, uang yang tadi mana? Kakak akan belikan makanan.” anak perempuan itu mencoba tegar.
            Dengan bermodal tiga ribu rupiah, sang kaka mencoba mendekati tukang soto, dengan harapan mampu membeli soto tersebut walau tidak satu porsi penuh.
            “Pak, berapa harga semangkuk soto?”
            “Rp 9000, mau beli berapa?” tanya tukang soto.
            “Maaf Pak saya hanya punya Rp.3000, bolehkah saya meminta keringanan bapak?”
“Oh, tidak bisa, disini Rp 9000, ya Rp 9000.”
“Tapi tolong Pak, saya dan adik saya dari pagi belum makan.”
“Itu urusan kamu, pergi sana.” jawab tukang soto angkuh.
Sang kakak pun pergi dari warung tenda itu dengan kecewa. Tidak sampai hati ia memberi tahu adiknya perihal ini.
“Mana kak sotonya?” tanya adik.
“Maaf dik, uang kita tidak cukup, ayo kita pulang saja, siapa tahu kita besok dapat uang lebih.”
“Tapi adik lapar kak.” anak laki-laki itu hampir menangis.
“Iya adik, kakak tahu, maafkan kakak.”
Sepasang kakak beradik pun berpelukan. Peluk haru di tengah gerimis. Peluk haru menahan lapar di perut. Namun ada sepasang mata yang mengawasi. Sepasang mata yang memperhatikan sejak tadi. Akhirnya ia menghampiri kakak beradik tersebut.
“Ada apa ini? Kenapa kalian menangis?” tanya pemuda itu.
“Kita lapar mas.” jawab sang adik.
“Sudah kalian jangan menangis. Kalian mau makan apa?”
“Soto ayam mas.” jawab sang adik gembira.
“Yasudah, mari kita kesana.”
Akhirnya mereka bertiga berjalan menuju warung soto. Tukang soto pun heran kenapa anak perempuan tadi kembali datang dan bersama anak kecil, dan pemuda bermodel mahasiswa. Tidak perlu menunggu lama, pemuda itu memesan tiga porsi soto ayam plus nasi putih. Tidak lupa jeruk hangat yang menjadi minuman malam itu. Sambil menunggu pesanan, pemuda itu angkat bicara, mencairkan suasana.
“Nama saya Randi, nama kalian siapa?”
“Saya Anggi, ini adik saya, Wisnu.” kata sang kakak yang ternyata bernama Anggi.
“Kalian sekolah tidak?”
“Kami sudah enam bulan terakhir tidak sekolah, Mas, sudah tidak ada biaya. Ayah meninggal enam bulan lalu, sementara ibu sakit-sakitan.”
“Karena itu mas kita sekarang ngamen.” kata Wisnu ikut bicara.
“Memang kalian seharusnya kelas berapa?”
“Saya kelas 2 SMP, kalau Wisnu kelas 5 SD, Mas.”
Tidak terasa pesanan pun datang. Mereka melahap soto panas itu dengan lahapnya. Senang melihat orang seperti itu.
Suara sedotan yang berpadu dengan gelas menandakan jeruk hangat yang di gelas sudah habis. Randi membayar semua makanan yang di pesan, dan tidak lupa memesan satu bungkus lagi untuk ibu anak itu. Setelah member satu bungkus soto lagi, Randi pun pamit pada kedua anak itu.
“Mas pulang dulu ya, besok kita janjian disini, sekitar jam 7 malam, nanti Mas teraktir lagi.”
“ Iya, Mas terima kasih.” jawab Anggi senang.
 Keesok harinya, setelah seharian Anggi dan Wisnu mengarungi jalanan, dari satu bis ke bis lain, sekarang saatnya menunggu Randi di tempat kemarin. Hari ini mereka mendapat hasil yang lumayan. Rp 15.000. Sebagian uangnya sudah ia belikan makan siang untuk dia, Wisnu dan ibunya, sedangkan sisanya Rp 4.000 ia kantongi.
Anggi dan Wisnu kembali bernyanyi dari warung makan ke warung makan yang lain. Hingga akhirnya Randi datang.
“Kalian sudah makan malam?” tanya Randi.
“Belum mas.” jawab mereka kompak.
Akhirnya Randy mengajak mereka ke tenda makan nasi uduk. 3 porsi nasi uduk mereka habiskan dengan secangkir teh hangat.  Lahap sekali cara makan Anggi dan Wisnu.
“Ok, hari ini aku iut kerumah kalian.” kata randi bersemangat.
“Untuk apa mas?” tanya Anggi heran.
“Untuk bertemu ibu kalian, agar kalian di pindahkan ke bangku sekolah lagi.”
“Ibu kami sedang sakit mas, dia tidak mampu untuk bekerja sekeras dulu, untuk membiayai sekolah kami.” kata Anggi berkaca-kaca.
“Makanya aku ingin bicara dengan ibu kalian, Karena aku berencana membiayai sekolah kalian.”
Kakak beradi itu hanya diam tanpa kata. Mereka masuk ke mobil Randi. Menuju daerah perkampungan di tengah kota. Menuju rumah Anggi.
Mereka tiba di rumah Anggi sudah pukul 22.00. Sang ibu menyambut kepulangan Anggi dan Wisnu, serta keheranan dengan pemuda yang menyertai anaknya.
“Perkenalkan saya Randi, Bu. Saya mahasiswa jurusan Psikologi.”
“Saya Bu Ratna, ibu Anggi dan Wisnu.”
Randi dan Bu Ratna pun berbiacara panjang lebar. Sementara Wisnu sudah tidur, sedangkan Anggi mengintip dari kamarnya yang sempit itu. Mengintip dan menguping apa yang mereka bicarakan.
Setelah mengobrol panjang lebar akhirnya Randi dan Bu Ratna sama-sama tahu. Bu Ratna sekarang tahu kalau Randi adalah mahasiswa Psikologi yang hanya hidup dengan kakaknya, karena orangtua mereka sudah meninggal. Sementara itu Randi tahu kalau Bu Ratna terserang struk ringan.
Mereka berdua menghasilkan beberapa keputusan, yaitu kembali menyekolahkan Anggi dan Wisnu, dan juga memberi modal usaha katering untuk Bu Ratna, karena memasak Bu Ratna masih sanggup.
“Mulai besok kalian akan sekolah lagi.” kata Bu Ratna pada kedua anaknya di suatu pagi.
“Lalu, siapa yang biayai kita, Bu?”
“Mas Randi akan membiayai kalian di bulan pertama, dan Mas Randi pula memberi modal ke ibu untuk membuat usaha katering.”
“Alhamdulilah.” Anggi secara spontan sujud sukur.
Mereka bertiga berpelukan penuh haru.
Malam ini Randi datang kerumah Bu Ratna. Bermaksud mengajak anak-anak ke toko buku, untuk membeli perlengkapan sekolah.
Sepanjang toko buku, Anggi dan Wisnu sangat gembira sekali. Mereka memilih tas, sepatu, baju sekolah, maupun buku tulis baru. Di pojok toko buku tersebut terdapat jendela yang mampu melihat pemandangan di luar. Hujan ternyata. Mereka bertiga memandangi pemandangan diluar, dan Anggi pun angkat bicara.
“ Aku janji akan melakukan hal yang terbaik untuk sekolahku nanti, Mas.” kata Anggi pada Randi.
“Wisnu juga, Mas Randi. Wisnu mau dapet rangking kayak dulu.”
“Memangnya dulu Wisnu rangking berapa?” tanya Randi.
“Dulu aku rangking lima, Mas.” Wisnu menjawab.
“Baik, saya pegang janji kalian, kalian harus menjadi yang terbaik di sekolah.” Randi memberi semangat.
Sepulangnya dari toko buku, mereka mampir ke warung martabak. Randi membelikan martabak keju dan telur untuk makanan di rumah Bu Ratna. Setelah pesanan mereka jadi, mereka lanngsung menuju rumah dan bersiap untuk sekolah besok.
Keesokan harinya.
Hari yang menyenangkan bagi Anggi dan Wisnu karena mereka kembali lagi kesekolah. Mereka sangat bersemangat pagi itu. Menyambut mentari dengan senyuman terindah. Siap untuk melangkah lebih jauh hari ini. Begitu pula sang ibu, ia sangat bersemangat. Semangat untuk menyembuhkan sakitnya. Semangat untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Semangat untuk memulai usaha kateringnya.
Sesekali Randi datang untuk menjenguk mereka. Sekedar membawakan  martabak atau mengajak ketiga orang tersebut makan malam diluar. Randi sangat menikmati perannya yang membantu keluarga Bu Ratna dalam hal keuangan. Randi melakukan ini karena memang ia orang yang berkecukupan. Ia adalah satu dari sekian banyak orang yang masih peduli dengan lingkungan sekitar.
Suatu ketika, Randi datang kerumah Anggi bersama kakak perempuannya, Devi.
“Ibu, perkenalkan ini kakak saya, Mba Devi.”
“Devi.” kata Devi sopan.
“Bu Ratna.”
Mereka bertiga mengobrol banyak. Mengobrol tentang kelancaran bisnis katering, ataupun peningkatan prestasi Anggi dan Wisnu di sekolah. Tidak lama kemudian, Anggi dan Wisnu pulang sekolah. Mereka menyambut hangat kehadiran Randi dan Devi. Tak lupa berkenalan.
“Mas Randi, alhamdulilah acara 17-an besok Anggi kepilih jadi Paskibraka tingkat kota.” Anggi senang.
“Alhamdulilah, bagus itu.” Kata Randi.
“Kalau Wisnu minggu depan ikut lomba cerdas cermat tingkat kota juga, Mas. Wisnu jadi salah satu wakil sekolah.”
“Loh, memang setiap sekolah punya berapa wakil?”
“Tiga orang, Mas, ketat pula seleksinya, alhamdulilah Wisnu lolos.”
Mereka pun larut dalam obrolan hangat.
Waktu terus bergulir, hingga tiba saat Anggi dan Wisnu naik tingkat sekolah. Anggi melanjutkan ke SMK, sedangkan Wisnu beranjak ke SMP. Setelah mengikuti berbagai ujian akhir, akhirnya Anggi dan Wisnu dinyatakan lulus.
Randi kembali datang pada malam itu. Memberi ucapan selamat pada Anggi dan Wisnu, sekaligus ingin mebuatkan acara selametan.
“Bagaimana jika kita selametan atas kelulusan mereka, Bu?”
“Maaf, Mas Randi, uang saya hanya cukup untuk biaya pendaftaran sekolah mereka kelak.” Jawab Bu Ratna pelan.
“Tidak apa Bu. Masalah biaya biar saya yang tanggung.”
“Baiklah, Mas Randi. Saya sangat berterima kasih sebelumnya. Kira-kira kapan ya?”
“ Bagaimana jika hari Sabtu ini?”
“Baiklah, Mas.”
Akhirnya acara selametan pun digelar. Randi dan Bu Ratna merahasiakan hal ini pada Anggi dan Wisnu. Dan pas hari H, Anggi dan Wisnu kaget karena banyak tamu, yang juga tetangga Bu Ratna ramai-ramai berkunjung. Juga banyak makanan di rumah.
“Mau ada acara apa ini, Bu?”
“Acara selametan kelulusan kalian berdua.”
“Ih, Ibu jahat ga ngasih tau kami.”
“Maaf, ini atas kesepakatan ibu dengan Mas Randi.”
Sedikit kecewa, namun tetap senang yang terpancar dari wajah Anggi dan Wisnu. Mereka pun mandi dan bersiap-siap mengikuti acara.
Pukul 10.00. Acara pun dimulai. Randi datang bersama kakaknya. Acara berlangsung sekitar dua jam. Iringan doa dan makan siang pun mewarnai acara ini.
“Mas Randi jahat tidak memberitahu kami.” Kata Anggi.
“Iya nih, Mas Randi, wuu.” Wisnu menambahkan.
“Maaf, maaf, saya dan ibu ingin meberi kejutan pada kalian.”
“Oh iya, ini ada hadiah untuk kalian.” Kata Mba Devi.
“Wah, terima kasih, Mba. Terima kasih, Mas.” Kata Anggi pada Mba Devi dan Randi.
Devi memberi hadiah berupa baju SMA untuk Anggi, dan baju SMP untuk Wisnu. Mereka senang. Mereka pun mencoba mengenakan hadiah tersebut. Alhamdulilah muat.
“Wah, kamu terlihat cantik pake baju SMA.” kata Randi pada Anggi.
“Iya, Wisnu juga ganteng tuh.” kata Devi pada Wisnu.
“Makasih ya, Mas, Mba.” jawab Anggi dan Wisnu.
“Oh iya, Mas, hari Selasa besok aku ada perpisahan di sekolah, gimana, Mas dan Mba bisa ikut kan?” tanya Anggi penuh semangat.
“Insya Allah, Mas akan datang.”
“Kalau Mba gag bisa ikut ya, Mba ada ujian hari itu, maaf.”
“Baiklah kalau begitu, aku tunggu ya.”
Mereka pun mengobrol. Tentang Anggi yang berencana masuk SMK Pariwisata, ataupun Wisnu yang ingin  masuk SMP Negeri, seperti kakaknya. Hingga pukul 18.00, akhirnya Randi dan Devi pun pulang.
Hari selasa pun tiba. Saatnya perpisahan yang diadakan di sekolah Anggi. Orangtua murid berkumpul, menyaksikan anaknya di wisuda. Anggi pun ditemani ibu dan adiknya Wisnu. Namun ia berharap-harap cemas karena Randi belum datang.
Acara pun dimulai. Anggi yang masuk dalam 10 besar hasil Ujian Nasional terbaik di SMP-nya pun naik podium. Memberikan sepatah dua patah kata.
“Terima kasih pada Allah SWT, yang mempertemukan saya pada Mas Randi, yang akhirnya membantu saya membantu membiayai sekolah saya. Juga pada ibu saya yang telah merawat saya selama ini, juga adik saya Wisnu. Terima kasih kepada para guru yang memberi ilmu kepada saya, terima kasih.”
Anggi pun turun dari podium sambil menangis haru. Bu Ratna yang berada di salah satu bangku orang tua murid pun terharu. Bangga melihat anaknya sukses. Namun ia masih mempertanyakan ketidakhadiran Randi.
Acara pun berakhir penuh haru. Masing-masing siswa berpelukan sesama teman atau kepada guru. Peluk haru karena inilah akhir kebersamaan mereka selama 3 tahun.
Anggi keluar gedung itu bersama ibu dan anaknya. Dengan naik angkutan umum, mereka pun pulang kerumah. Anggi menanyakan kepada ibunya perihal Randi.
“Bu, Mas Randi ga datang ya?”
“Iya, yasudahlah, mungkin dia kuliah.”
“Tapi Anggi kecewa, Bu.”
“Mungkin dia ada urusan lain, Sayang.” jawab sang ibu.
Mereka pun tiba di rumah. Saatnya menata kehidupan baru bagi Anggi. Hari-hari berikutnya Anggi dan Wisnu pun mencari sekolah baru. Alhamdulilah, dengan hasil katering yang di kelola ibunya, Anggi dan Wisnu bisa melanjutkan sekolah sesuai keinginan mereka. Anggi masuk SMK Pariwisata, sedangkan Wisnu masuk SMP Negeri seperti kakaknya.
Hari ini adalah hari pertama mereka masuk sekolah. Tentu dengan MOS selama 3 hari. Anggi sangat bangga dengan baju SMK yang di belikan mba Devi tempo hari, begitu juga Wisnu. Dan mereka sekarang teringat Randi dan Devi, yang tidak ia jumpai selama 2 bulan terakhir.
“Kalian memang tidak tahu rumah mas Randi?” tanya ibu kepada anaknya.
“Tidak tahu Bu.” jawab Anggi dan Wisnu kompak.
Mereka pun kebingungan mencari Randi. Tidak tahu nomor ponsel maupun alamat rumah Randi. Namun Anggi teringat satu hal.
“Bagaimana jika kita ke perempatan lampu merah saja, Dik?”Tanya Anggi pada Wisnu.
“Kita akan ngamen lagi kak?”
“Bukan, tetapi mencari mas Randi.”
“Oh, baik kak.”
Malam ini mereka pun menuju perempatan lampu merah dan menelusuri jalan di sekitarnya. Tidak peduli mereka lelah karena baru pulang MOS pada sore hari, malamnya mereka bergerak ke perempatan lampu merah. Berharap mereka akan bertemu Randi.
Malam ini hujan turun. Namun Anggi sudah bersiap dengan membawa payung. Mereka menunggu sejam pertama di depan toko buku. Terlihat sepasang mata mengawasi gerak mereka. Anggi pun mengajak adiknya makan soto. Kepulan soto panas dengan jeruk hangat mengingatkan mereka pada pertemuan petama dengan Randi. Dulu Randi yang membayar, namun sekarang mereka sudah cukup uang untuk membayar sendiri. Setelah soto mereka habis, mereka pun pulang. Penantian selama 2 jam tidak mebuahkan hasil. Namun sepasang mata itu tetap mengawasi mereka, sampai mereka naik angkutan umum dan menghilang dari pandangan.
Esok malamnya, Anggi dan Wisnu kembali ke perempatan lampu merah.
“Sudah 2 jam kita disini kak, tidak ada tanda-tanda.” kata Wisnu lelah.
“Tenang, Dik, sabar.”
Kali ini, Anggi merasa ada sepasang mata yang mengawasi mereka. Anggi pun dengan sigap berlari kearah orang itu. Orang itu pun ikut berlari, dan kini sepanjang jalan raya ada 3 orang yang sedang kejar-kejaran.
Wisnu yang berlari cukup  kencang pun berhasil menangkap orang itu. Kaget rasanya bagi Anggi dan Wisnu, karena orang itu adalah Devi.
“Mba Devi, mengagetkan kita saja.” Kata Wisnu.
“Dimana Mas Randi, Mba?” Anggi bertanya.
 “Besok akan aku antar kalian ke mas Randi. Besok aku akan kerumah kalian pukul 15.00.” kata Devi.
“Baik kalau begitu, kami tunggu ya, Mba.” Kata Anggi.
Anggi dan Wisnu pun pulang kerumah.
Esok harinya, Devi datang. Setelah berpamitan pada ibunya, Anggi dan Wisnu pun pergi bersama Devi.
“Kita mau kemana kak?” tanya Anggi.
“Sudah ikut saja.”
Mereka pun pergi ke suatu tempat. Anggi dan Wisnu pun curiga, karena mereka menuju pemakaman. Setelah turun dari mobil, mereka menuju makam, yang ternyata bertuliskan Randi Pabayita. Seketika Anggi pun lemas dan menangis.
“Maafkan aku ya, Nggi, tidak ngasih tahu kamu sejak awal bahwa Randi meninggal.”
“Kenapa, Mba? kenapa Mas Randi meninggal?”
“Mobil yang ia tumpangi mengalami kecelakaan ketika mau menghadiri acara perpisahanmu, Nggi.”
Anggi pun menangis. Ia merasa bersalah dengan kematian Randi.
“Randi sebelum meninggal berpesan pada kalian, kalau kalian harus sukses dalam bersekolah, tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan, kalau sudah sukses baru kalian boleh ke nisan Randi lagi, begitu pesan Randi.” jelas Devi pada Anggi dan Wisnu.
Anggi dan Wisnu mengangguk secara bersamaan. Anggi masih saja menangis, namun Wisnu tidak bisa nangis, dia hanya merasa sesak di dada. Bagaimana pun, Randi telah memberi kesempatan sekolah bagi Wisnu.
Hari semakin sore, bahkan menjelang malam. Mereka bertiga pun meninggalkan makam. Ketika masuk mobil, isak tangis masih terdengar dari suara Anggi. Ia amat kehilangan. Namun hidup tetap berjalan. Berjalan ke depan, tanpa memperdulikan kesedihan.
Hari-hari berikutnya merupakan lembaran baru bagi hidup Anggi dan Wisnu. Dua pengamen jalanan itu kini menjadi siswa berprestasi. Anggi yang sekarang kelas 2 SMK sudah magang kerja di salah satu perusahaan pariwisata terkenal, dan menjadi tour guide. Sementara Wisnu sukses dengan ekstrakulikuler sepakbola yang ia tekuni di SMP. SMP nya menjadi yang terbaik dalam kejuaraan sepakbola SMP se-provinsi. Wisnu menjadi penyerang dengan gol terbanyak di kompetisi tersebut. Sementara itu usaha katering Bu Ratna semakin maju. Dia sudah punya 3 pegawai. Bukan hanya menjajakan makanan berat seperti nasi kotak dan lauknya, ia mencoba peruntungan dengan membuat aneka kue. Hasilnya memuaskan. Pesanan begitu banyak datang. Terlebih lagi ketika hari raya tiba.
Tentu dengan kesuksesan mereka tidak membuat mereka lupa pada jasa Randi. Hari minggu pun tiba, Bu Ratna, Anggi, dan Wisnu berniat mendatangi makam Randi. Keluarga itu naik angkutan umum menuju ke pemakaman. Sesampainya disana, suasana haru kembali terjadi.
“Mas, kami datang. Mas apa kabar?” Anggi berbicara pelan.
“Mas Randi, alhamdulilah aku dan anakku sekarang sukses. Usaha kateringku lancar dan anak-anak membuat prestasi yang membanggakan di sekolah.” Kata Bu Ratna.
Setelah menabur bunga dan mendoakan almarhum, mereka pun beranjak. Namun Wisnu mengusulkan satu hal.
“Ibu, gimana kalau kita makan soto dulu di perempatan lampu merah di tempat biasa?”
“Iya, Bu. Sambil mengenang Mas Randi. Lagi pula aku lapar.” bujuk Anggi.
“Baik, Nak. Ayo kita berangkat.” Bu Ratna mengiyakan.
Mereka kembali naik angkutan umum dan menuju tujuan. Setibanya disana, hujan kembali mengguyur kota. Karena bukan jam kerja maka jalan pun tidak begitu macet. Setelah turun dari angkutan umum dan dengan menggunakan payung, Bu Ratna, Anggi dan Wisnu menuju warung soto. Lampu-lampu kota berpadu dengan lampu mobil pun terlihat indah. Memancarkan siluet cahaya yang makin menawan dengan paduan air hujan. Anggi pun memesan tiga porsi soto dan jeruk panas. Menghangatkan suasana malam yang dingin dengan semangkuk soto. Makin hangat ketika Anggi terbayang saat pertama bertemu Randi disini.